Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
4/Pid.Pra/2020/PN Gsk | JOHAN ADITYA KUNCORO | Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Selasa, 27 Okt. 2020 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 4/Pid.Pra/2020/PN Gsk | ||||
Tanggal Surat | Selasa, 27 Okt. 2020 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Perkenankanlah kami ALDI KUSUMA, SH., FERNANDO THENDIJAYA, SH., ANTON STEVEN BANGUN, SH., Para Pengacara dan Penasihat Hukum pada Kantor Pengacara dan Penasihat Hukum ALDI & CO, beralamat di Ruko Dirjen Perkebunan Jl. Kav. Perkebunan Raya No. 255 B, RT.006/RW.013, Bencongan Indah Kec. Kelapa Dua Kota Tangerang.
Dalam hal ini bertindak baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama JOHAN ADITYA KUNCORO berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 12 Oktober 2020, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON. ——————————–M E L A W A N——————————– Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik yang beralamat di Jl. Jaksa Agung Suprapto No. 61 Gresik selanjutnya disebut sebagai TERMOHON. Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan Sebagai Tersangka dalam Dugaan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan Pasal 103 huruf a Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik. Adapun yang menjadi alasan Permohonan PEMOHON adalah sebagai berikut : I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
“Mengadili Menyatakan :
Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian Permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan. Melalui Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan Tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”, yang mana dalam membuktikan apakah Tersangka diduga melakukan tindak pidana dibidang Kepabeanan atau tidak setidaknya diperlukan minimal 2 alat bukti, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah: a. keterangan ahli; b. keterangan saksi; c. surat; d. petunjuk e. keterangan terdakwa. Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan saksi ahli, kecuali tindak pidana yang penetapan Tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan saksi ahli untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu, apakah perbuatannya masuk dalam kategori suatu perbuatan Tindak Pidana atau bukan. Bahwa sebagaimana diketahui PEMOHON tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam kapasitas PEMOHON sebagai calon Tersangka. Berdasarkan pada Surat Panggilan yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan Nomor SP-43/WBC.11/KPP.MP.04/PPNS/2020 tertanggal 18 Agustus 2020 tidak pernah membuktikan PEMOHON diperiksa sebagai calon Tersangka, akan tetapi PEMOHON langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh TERMOHON, sehingga tidak dengan seimbang PEMOHON dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada PEMOHON. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan saksi ahli tidak pernah dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh TERMOHON dalam hal ini Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik. Bahwa berdasarkan Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan sebagai berikut: “Tersangka atau Terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan dirinya.” Namun pada pelaksanaannya PEMOHON sebagai Tersangka saat proses pemeriksaan tidak disertai dengan pendapat dari seseorang yang memiliki keahlian khusus yang mana dalam hal ini dibidang kepabeanan guna memberikan keterangan yang dapat memberikan pendapat apakah sudah tepat penetapan Tersangka atau sudah layak atau belum perkara Aquo dinaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan. Dengan demikian jelas tindakan TERMOHON dengan atau tanpa pemeriksaan saksi ahli merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Aquo.
Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga asas hukum presumption of innosence atau asas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, Negara pun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut. Maka Negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Prof. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh paham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya Hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya asas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’. Bahwa dalam Hukum Administrasi Negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan Wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “Pejabat Pemerintah atau Alat Administrasi Negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang Pejabat atau Badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan Pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyalahgunaan Wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang – dibuat sesuai prosedur; dan – substansi yang sesuai dengan objek Keputusan Bahwa sebagaimana telah PEMOHON uraikan diatas, bahwa Penetapan Tersangka PEMOHON dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan PEMOHON dalam Permohonan Aquo sebagaimana diulas dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut : “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan” Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa dan mengadili perkara Aquo dapat menjatuhkan Putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan Tersangka terhadap PEMOHON dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.
Bahwa dalam perjalanan dari Jepang menuju Indonesia, kapal Revo 8 singgah di Pontianak dikarenakan untuk keselamatan dan khawatir perbekalan habis. Pada saat dilakukan pengecekkan di Pontianak, didapati bahwa komponen mesin rusak sehingga pada saat dilakukan pemeriksaan oleh KSOP Pontianak dan Bea Cukai Pontianak maka diputuskan bahwa kapal tersebut tidak layak untuk dioperasikan di Indonesia, sehingga PEMOHON mengajukan permohonan re-ekspor berdasarkan Surat Permohonan Re-ekspor Nomor 266/VII/2019 tertanggal 15 Juli 2019 kepada Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Pontianak. Bahwa Petugas Bea Cukai Pontianak melakukan pengkajian dokumen dan evaluasi mengenai kapal Revo 8 tersebut dan setelah pengkajian maka pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kantor Wilayah Kalimantan Bagian Barat KPPBC Tipe Madya Pabean B Pontianak memutuskan untuk melakukan re-ekspor sesuai dengan permohonan re-ekspor dari PT. TRIMITRA SAMUDRA. Bahwa atas Surat Permohonan tersebut PEMOHON memiliki izin re-ekspor atas kapal Revo 8 berdasarkan Surat Nomor S-1358/WBC.14/KPP.MP.01/2019 yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Pontianak adalah sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga adanya Dugaan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan Pasal 103 huruf a Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON adalah tidak sah dan tidak beralasan hukum.
Bahwa dokumen-dokumen yang dimiliki PEMOHON adalah sebagai berikut :
Bahwa sejak awal pembelian PEMOHON tidak pernah melakukan perubahan atas dokumen kapal tersebut. Pada saat pembelian kapal melalui seorang Broker bernama Edi, seluruh dokumen yang diterima oleh PEMOHON adalah dokumen kapal Revo 8. Pada kenyataannya, PEMOHON tidak melakukan pemalsuan dokumen karena sejak awal pembelian kapal dokumen yang diterima oleh PEMOHON adalah Revo 8 yang mana dokumen tersebut PEMOHON dapat pada saat transaksi dan sudah diverifikasi oleh Bea dan Cukai Pontianak dan KSOP Pontianak sebagai dokumen valid. Bahwa dokumen-dokumen yang dimiliki oleh PEMOHON tersebut adalah benar dan sah sebagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, sehingga penetapan Tersangka kepada PEMOHON oleh TERMOHON adalah tidak sah dan tidak beralasan hukum.
Bahwa Penetapan Tersangka terhadap PEMOHON oleh TERMOHON dengan alasan bahwa setelah dilakukan penyidikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Gresik kapal tersebut merupakan kapal Revo 3 sedangkan pada dokumen yang diberikan pada PEMOHON adalah Revo 8 dan menurut TERMOHON bahwasannya PEMOHON telah melakukan tindak pidana kepabeanan berupa pemalsuan dokumen. Bahwa terkait dengan dokumen kepabeanan yang dimiliki oleh PEMOHON tidak pernah ada sanggahan atas dokumen-dokumen tersebut oleh instansi-instansi terkait yang menyatakan bahwa dokumen-dokumen tersebut adalah palsu. Bahwa dokumen-dokumen tersebut sudah divalidasi oleh Lembaga-lembaga Negara setingkat Bea Cukai Gresik dan KSOP Gresik, yang mana dokumen tersebut sampai saat ini merupakan dokumen yang sah, yang merupakan suatu produk hukum yang memiliki kekuatan sebagai dokumen Negara yang sah. Sehingga, jika melihat Pasal yang disangkakan TERMOHON tidaklah mungkin PEMOHON memalsukan dokumen kapal yang dibeli oleh PEMOHON seorang diri tanpa adanya campur tangan pihak lain. Bahwa dikarenakan sejak awal PEMOHON melakukan pembelian kapal dokumen yang diterima oleh PEMOHON adalah dokumen dengan atas nama Kapal Revo 8 maka apabila memang terdapat kesalahan dalam surat ataupun dokumen kapal tersebut, sudah seharusnya perkara ini diproses dengan seadil-adilnya agar instansi-instansi yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan atas surat-surat terkait dengan kapal Revo 8 yang telah diterbitkan tersebut.
Bahwa menurut SM Amin dalam bukunya Hukum Acara Pengadilan Negeri Jakarta (hal. 98), pengertian benda sitaan erat kaitannya dengan barang bukti. Benda sitaan adalah barang bukti dari suatu perkara pidana yang disita oleh aparat penegak hukum yang berwenang guna kepentingan pembuktian di sidang Pengadilan. Barang bukti dalam hal ini adalah barang-barang yang diperlukan sebagai alat bukti, terutama alat bukti seperti yang disebutkan dalam Keterangan Saksi atau Keterangan Terdakwa. Lebih lanjut menurut Andi Hamzah dalam bukunya Pengusutan Perkara Melalui Sarana Teknik dan Saran Hukum (hal. 150), biasannya benda yang dapat disita berupa “yang dipergunakan untuk melakukan delik” dan “benda yang menjadi objek delik” serta dikenal dengan ungkapan “mengenai mana delik dilakukan”.
Bahwa atas ditetapkannya PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON maka dilakukan penyitaan atas barang bukti oleh TERMOHON berupa Kapal Revo 8 berdasarkan Surat Pemberitahuan Penyitaan Kapal Nomor : S-18/WBC.11/KPP.MP.04/PPNS/2020 tertanggal 20 Mei 2020 namun atas biaya yang timbul dari penyitaan barang sita tersebut dibebankan kepada PEMOHON, tidak ditanggung secara keseluruhan oleh TERMOHON selaku Penyidik dalam perkara Aquo. Hal tersebut telah melanggar peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHAP mengenai penyimpanan benda sitaan yang menyatakan bahwa:
Bahwa dengan ini jelas bahwasannya yang bertanggung jawab terhadap benda sitaan tersebut yaitu Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses Peradilan. Sehingga apabila dalam hal penyitaan yang sudah berjalan sekitar 6 (enam) bulan Ini, TERMOHON justru membebankan seluruh biaya penyimpanan kapal kepada PEMOHON adalah suatu perbuatan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan peraturan yang ada. Maka dari itu sudah sepatutnya terhadap penyitaan tersebut Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik dapat menyatakan bahwa seluruh biaya yang timbul merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh TERMOHON.
Bahwa kegiatan impor merupakan kegiatan memasukkan barang dari daerah pabean Negara lain ke daerah pabean Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah kepabeanan adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landasan Kontinen sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2016 disebutkan sebagai berikut: “Untuk dapat mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau tempat lain yang diperlakukan sama dengan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) dengan tujuan diimpor untuk dipakai, importir wajib untuk menyampaikan: a. PIB; atau b. Dokumen pelengkap pabean. “
Bahwa berdasarkan Surat Persetujuan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru Nomor 04.PI-02.18.2926 tertanggal 10 Desember 2018 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri maka PEMOHON telah dinyatakan memenuhi persyaratan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru tersebut atas persetujuan dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Dengan diterbitkannya surat ini bahwa telah terbukti bahwa PEMOHON telah mendapatkan persetujuan Impor Barang dari kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang mana dokumen tersebut adalah dokumen sah dan resmi yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
III. PETITUM Berdasarkan pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, PEMOHON mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa dan mengadili perkara Aquo berkenan memutus sebagai berikut :
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |