Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GRESIK
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2020/PN Gsk JOHAN ADITYA KUNCORO Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 27 Okt. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2020/PN Gsk
Tanggal Surat Selasa, 27 Okt. 2020
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1JOHAN ADITYA KUNCORO
Termohon
NoNama
1Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Perkenankanlah kami ALDI KUSUMA, SH., FERNANDO THENDIJAYA, SH., ANTON STEVEN BANGUN, SH., Para Pengacara dan Penasihat Hukum pada Kantor Pengacara dan Penasihat Hukum ALDI & CO, beralamat di Ruko Dirjen Perkebunan Jl. Kav. Perkebunan Raya No. 255 B, RT.006/RW.013, Bencongan Indah Kec. Kelapa Dua Kota Tangerang.

 

Dalam hal ini bertindak baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama JOHAN ADITYA KUNCORO berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 12 Oktober 2020, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.

——————————–M E L A W A N——————————–

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik yang beralamat di Jl. Jaksa Agung Suprapto No. 61 Gresik selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.

Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan Sebagai Tersangka dalam Dugaan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan Pasal 103 huruf a Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik.

Adapun yang menjadi alasan Permohonan PEMOHON adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak Tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).
  2. Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP, diantaranya adalah:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
  1. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

  1. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa Putusan Pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak Tersangka, sehingga Lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
    1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/ 2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
    2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
    3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/ 2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
    4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
    5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/ 2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;
    6. Dan lain sebagainya.
  2. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya Lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka, seperti pada kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

“Mengadili

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan…”

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON TIDAK SAH DAN TIDAK BERALASAN HUKUM

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian Permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan. Melalui Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan Tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”, yang mana dalam membuktikan apakah Tersangka diduga melakukan tindak pidana dibidang Kepabeanan atau tidak setidaknya diperlukan minimal 2 alat bukti, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah:

a. keterangan ahli;

b. keterangan saksi;

c. surat;

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa.

Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan saksi ahli, kecuali tindak pidana yang penetapan Tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).

Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan saksi ahli untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu, apakah perbuatannya masuk dalam kategori suatu perbuatan Tindak Pidana atau bukan.

Bahwa sebagaimana diketahui PEMOHON tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam kapasitas PEMOHON sebagai calon Tersangka. Berdasarkan pada Surat Panggilan yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan Nomor SP-43/WBC.11/KPP.MP.04/PPNS/2020 tertanggal 18 Agustus 2020 tidak pernah membuktikan PEMOHON diperiksa sebagai calon Tersangka, akan tetapi PEMOHON langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh TERMOHON, sehingga tidak dengan seimbang PEMOHON dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada PEMOHON.

Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan saksi ahli tidak pernah dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh TERMOHON dalam hal ini Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik.

Bahwa berdasarkan Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan sebagai berikut:

“Tersangka atau Terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan dirinya.”

Namun pada pelaksanaannya PEMOHON sebagai Tersangka saat proses pemeriksaan tidak disertai dengan pendapat dari seseorang yang memiliki keahlian khusus yang mana dalam hal ini dibidang kepabeanan guna memberikan keterangan yang dapat memberikan pendapat apakah sudah tepat penetapan Tersangka atau sudah layak atau belum perkara Aquo  dinaikkan statusnya dari penyelidikan ke penyidikan.

Dengan demikian jelas tindakan TERMOHON dengan atau tanpa pemeriksaan saksi ahli merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Aquo.

 

  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga asas hukum presumption of innosence atau asas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, Negara pun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut. Maka Negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Prof. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh paham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya Hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya asas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.

Bahwa dalam Hukum Administrasi Negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan Wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “Pejabat Pemerintah atau Alat Administrasi Negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang Pejabat atau Badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan Pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyalahgunaan Wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

 

– ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaimana telah PEMOHON uraikan diatas, bahwa Penetapan Tersangka PEMOHON dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga apabila sesuai dengan ulasan PEMOHON dalam Permohonan Aquo sebagaimana diulas dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah

Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan”

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa dan mengadili perkara Aquo dapat menjatuhkan Putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan Tersangka terhadap PEMOHON dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

  1. BEA CUKAI PONTIANAK SECARA TEGAS MENYATAKAN BAHWA IZIN RE-EKSPOR YANG DIKELUARKAN KEPADA PEMOHON ADALAH SAH SESUAI KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU

Bahwa dalam perjalanan dari Jepang menuju Indonesia, kapal Revo 8 singgah di Pontianak dikarenakan untuk keselamatan dan khawatir perbekalan habis. Pada saat dilakukan pengecekkan di Pontianak, didapati bahwa komponen mesin rusak sehingga pada saat dilakukan pemeriksaan oleh KSOP Pontianak dan Bea Cukai Pontianak maka diputuskan bahwa kapal tersebut tidak layak untuk dioperasikan di Indonesia, sehingga PEMOHON mengajukan permohonan re-ekspor berdasarkan Surat Permohonan Re-ekspor Nomor 266/VII/2019 tertanggal 15 Juli 2019 kepada Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Pontianak.

Bahwa Petugas Bea Cukai Pontianak melakukan pengkajian dokumen dan evaluasi mengenai kapal Revo 8 tersebut dan setelah pengkajian maka pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kantor Wilayah Kalimantan Bagian Barat KPPBC Tipe Madya Pabean B Pontianak memutuskan untuk melakukan re-ekspor sesuai dengan permohonan re-ekspor dari PT. TRIMITRA SAMUDRA.

Bahwa atas Surat Permohonan tersebut PEMOHON memiliki izin re-ekspor atas kapal Revo 8 berdasarkan Surat Nomor S-1358/WBC.14/KPP.MP.01/2019 yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Pontianak adalah sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga adanya Dugaan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan Pasal 103 huruf a Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON adalah tidak sah dan tidak beralasan hukum.

 

  1. SELURUH DOKUMEN YANG DIMILIKI OLEH PEMOHON VALID DAN TIDAK PERNAH DINYATAKAN PALSU ATAU CACAT OLEH INSTANSI PENERBIT

 

Bahwa dokumen-dokumen yang dimiliki PEMOHON adalah sebagai berikut :

 

  1. Tuvalu Ship Registry Provisional Certificate Of Registry (Single Delivery Voyage) No. TVR/PROV SDV/2014/REV.1;
  2. Tuvalu Ship Registry Provisional Minimum Safe Manning Certificate No. TVR/PROV MSMC/2014/REV.3
  3. Tuvalu Ship Registry Provisional Ship Radio Station Licence No. TVR/PROV SRSL/2004/REV.0
  4. Interim International Oil Pollution Prevention Certificate No. TC-18JPN25889INT;
  5. Suplement To The International Oil Pollution Prevention Certificate (IOPP Certificate);
  6. International Tonnage Certificate (1969) Number TC-18JPN25879INT;
  7. Protocol Of Delivery And Acceptance;
  8. Builder’s Certificate ;
  9. Invoice One Set MV. Revo 8;
  10. Certificate of Deleted Vessel’s Registrations;
  11. Notarial Certificate;
  12. Bill Of Sale Number 2966505;
  13. Memorandum Of Agreement Contract No. 09/01;
  14. Bill Of Lading B/L No. 28/12/91/2018;
  15. Surat Persetujuan Berlayar No. R.2/PM.82/6703/XII/2019;
  16. Surat Persetujuan Impor Barang Modal Dalam keadaan Tidak Baru Nomor : 04.PI-02.18.2926 oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri;
  17. Surat Persetujuan Re-Ekspor No. S-1538/WBC.14/KPP.MP.01/2019 oleh KPPBC Tipe Madya Pabean B Pontianak;
  18. Inward Manifest (BC 1.1) KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik;
  19. Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut (BC 1.0) KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik.

Bahwa sejak awal pembelian PEMOHON tidak pernah melakukan perubahan atas dokumen kapal tersebut. Pada saat pembelian kapal melalui seorang Broker bernama Edi, seluruh dokumen yang diterima oleh PEMOHON adalah dokumen kapal Revo 8. Pada kenyataannya, PEMOHON tidak melakukan pemalsuan dokumen karena sejak awal pembelian kapal dokumen yang diterima oleh PEMOHON adalah Revo 8 yang mana dokumen tersebut PEMOHON dapat pada saat transaksi dan sudah diverifikasi oleh Bea dan Cukai Pontianak dan KSOP Pontianak sebagai dokumen valid.

Bahwa dokumen-dokumen yang dimiliki oleh PEMOHON tersebut adalah benar dan sah sebagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, sehingga penetapan Tersangka kepada PEMOHON oleh TERMOHON adalah tidak sah dan tidak beralasan hukum.

 

  1. -QUOD NON- JIKALAU BENAR DOKUMEN NEGARA YANG DIMILIKI OLEH PEMOHON ADALAH PALSU MAKA SEHARUSNYA OKNUM PENERBIT DOKUMEN PALSU TERSEBUT JUGA DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA DALAM PERKARA AQUO

 

Bahwa Penetapan Tersangka terhadap PEMOHON oleh TERMOHON dengan alasan bahwa setelah dilakukan penyidikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Gresik kapal tersebut merupakan kapal Revo 3 sedangkan pada dokumen yang diberikan pada PEMOHON adalah Revo 8 dan menurut TERMOHON bahwasannya PEMOHON telah melakukan tindak pidana kepabeanan berupa pemalsuan dokumen.

Bahwa terkait dengan dokumen kepabeanan yang dimiliki oleh PEMOHON tidak pernah ada sanggahan atas dokumen-dokumen tersebut oleh instansi-instansi terkait yang menyatakan bahwa dokumen-dokumen tersebut adalah palsu.

Bahwa dokumen-dokumen tersebut sudah divalidasi oleh Lembaga-lembaga Negara setingkat Bea Cukai Gresik dan KSOP Gresik, yang mana dokumen tersebut sampai saat ini merupakan dokumen yang sah, yang merupakan suatu produk hukum yang memiliki kekuatan sebagai dokumen Negara yang sah. Sehingga, jika melihat Pasal yang disangkakan TERMOHON tidaklah mungkin PEMOHON memalsukan dokumen kapal yang dibeli oleh PEMOHON seorang diri tanpa adanya campur tangan pihak lain.

Bahwa dikarenakan sejak awal PEMOHON melakukan pembelian kapal dokumen yang diterima oleh PEMOHON adalah dokumen dengan atas nama Kapal Revo 8 maka apabila memang terdapat kesalahan dalam surat ataupun dokumen kapal tersebut, sudah seharusnya perkara ini diproses dengan seadil-adilnya agar instansi-instansi yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan atas surat-surat terkait dengan kapal Revo 8 yang telah diterbitkan tersebut.

 

 

 

  1. PENYITAAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON MENYALAHI ATURAN YANG BERLAKU KARENA PEMBEBANAN BIAYA SITA TIDAK DITANGGUNG TERMOHON

 

Bahwa menurut SM Amin dalam bukunya Hukum Acara Pengadilan Negeri Jakarta (hal. 98), pengertian benda sitaan erat kaitannya dengan barang bukti. Benda sitaan adalah barang bukti dari suatu perkara pidana yang disita oleh aparat penegak hukum yang berwenang guna kepentingan pembuktian di sidang Pengadilan. Barang bukti dalam hal ini adalah barang-barang yang diperlukan sebagai alat bukti, terutama alat bukti seperti yang disebutkan dalam Keterangan Saksi atau Keterangan Terdakwa. Lebih lanjut menurut Andi Hamzah dalam bukunya Pengusutan Perkara Melalui Sarana Teknik dan Saran Hukum (hal. 150), biasannya benda yang dapat disita berupa “yang dipergunakan untuk melakukan delik” dan “benda yang menjadi objek delik” serta dikenal dengan ungkapan “mengenai mana delik dilakukan”.

 

Bahwa atas ditetapkannya PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON maka dilakukan penyitaan atas barang bukti oleh TERMOHON berupa Kapal Revo 8 berdasarkan Surat Pemberitahuan Penyitaan Kapal Nomor : S-18/WBC.11/KPP.MP.04/PPNS/2020 tertanggal 20 Mei 2020 namun atas biaya yang timbul dari penyitaan barang sita tersebut dibebankan kepada PEMOHON, tidak ditanggung secara keseluruhan oleh TERMOHON selaku Penyidik dalam perkara Aquo. Hal tersebut telah melanggar peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHAP mengenai penyimpanan benda sitaan yang menyatakan bahwa:

 

  1. Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan Negara;
  2. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses Peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Bahwa dengan ini jelas bahwasannya yang bertanggung jawab terhadap benda sitaan tersebut yaitu Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses Peradilan. Sehingga apabila dalam hal penyitaan yang sudah berjalan sekitar 6 (enam) bulan Ini, TERMOHON justru membebankan seluruh biaya penyimpanan kapal kepada PEMOHON adalah suatu perbuatan yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan peraturan yang ada. Maka dari itu sudah sepatutnya terhadap penyitaan tersebut Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik dapat menyatakan bahwa seluruh biaya yang timbul merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh TERMOHON.

 

 

 

  1. TERMOHON TIDAK PERNAH MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP KEMENTERIAN PERDAGANGAN TERKAIT ADANYA PEMBERITAHUAN IMPOR BARANG (PIB) DAN SURAT PERSETUJUAN IMPOR BARANG MODAL DALAM KEADAAN TIDAK BARU YANG DIMILIKI OLEH PEMOHON

 

Bahwa kegiatan impor merupakan kegiatan memasukkan barang dari daerah pabean Negara lain ke daerah pabean Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah kepabeanan adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landasan Kontinen sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

 

Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2016 disebutkan sebagai berikut:

“Untuk dapat mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau tempat lain yang diperlakukan sama dengan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) dengan tujuan diimpor untuk dipakai, importir wajib untuk menyampaikan:

a. PIB; atau

b. Dokumen pelengkap pabean. “

 

Bahwa berdasarkan Surat Persetujuan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru Nomor 04.PI-02.18.2926 tertanggal 10 Desember 2018 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri maka PEMOHON telah dinyatakan memenuhi persyaratan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru tersebut atas persetujuan dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Dengan diterbitkannya surat ini bahwa telah terbukti bahwa PEMOHON telah mendapatkan persetujuan Impor Barang dari kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang mana dokumen tersebut adalah dokumen sah dan resmi yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

 

III. PETITUM

Berdasarkan pada argumen dan fakta-fakta yuridis diatas, PEMOHON mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa dan mengadili perkara Aquo berkenan memutus sebagai berikut :

  1. Menyatakan diterima Permohonan PEMOHON Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dengan Dugaan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan Pasal 103 Huruf a Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jawa Timur I KPPBC Tipe Madya Pabean B Gresik adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan Tersangka Aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala Keputusan atau Penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkenaan dengan Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON oleh TERMOHON;
  4. Mengembalikan seluruh barang bukti yang disita oleh TERMOHON kepada PEMOHON;
  5. Membebankan kepada TERMOHON biaya sandar kapal selama proses sita yang dilakukan oleh TERMOHON.
  6. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan kepada PEMOHON;
  7. Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  8. Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pihak Dipublikasikan Ya