Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GRESIK
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Gsk NAJIB ABDURRAUF BAHASUAN DIREKTUR PENEGAKAN HUKUM PADA DIREKTORAT JENDRAL PAJAK Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 22 Jan. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Gsk
Tanggal Surat Rabu, 22 Jan. 2020
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1NAJIB ABDURRAUF BAHASUAN
Termohon
NoNama
1DIREKTUR PENEGAKAN HUKUM PADA DIREKTORAT JENDRAL PAJAK
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Dalam hal ini mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Perpajakan dimaksud dalam Pasal 39A huruf a dan Pasal 39 Ayat 1 Huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 oleh Direktorat Jenderal Pajak Direktorat Penegakan Hukum Pada Direktorat Jenderal Pajak

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1.            Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia (HAM). Praperadilan merupakan salah satu instrumen hukum bagi setiap orang secara konstitusional untuk mempertahankan Hak Asasi Manusia nya yang merasa dilanggar. Pada kenyataannya penyusunan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut “KUHAP”) banyak disemangati dan berdasarkan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tugasnya saat melakukan penegakan hukum tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.

Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian.

 

2.            Bahwa sebagaimana diketahui Pasal 1 angka (10) KUHAP menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

1.            Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2.            Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3.            Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

3.            Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP di antaranya adalah:

 

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

1.            sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

2.            ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

4.            Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP sering tidak dapat menjangkau fakta bahwa perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan perbuatan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.

Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) yang mengedepankan Teori Kemanfataan dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian, hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

5.            Bahwa terkait dengan penetapan tersangka, terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

a.            Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor.01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;

b.            Putusan Mahkamah Agung Nomor. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;

c.             Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor . 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 Nopember 2012;

d.            Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;

e.            Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015;

f.             Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No 5/Pid.Pra/2017/PN. SDA Tanggal 14 Agustus 2017;

g.            Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 1/Pid.Pra/2018/PN. SDA Tanggal 29 Januari 2018;

h.            Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo No 7 /Pid.Pra/2019/PN. SDA Tanggal 21 Mei 2019;

i.              Dan lain sebagainya.

 

6.            Bahwa perluasan ruang lingkup Permohonan Praperadilan, yang mana penetapan tersangka merupakan ruang lingkup Praperadilan telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang didalamnya memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan  mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

•             [dst]

•             [dst]

•             Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

•             Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan.

7.            Bahwa dengan demikian, jelas bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 menyatakan Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

8.            Bahwa permohonan Praperadilan yang dilakukan oleh Pemohon ke  Pengadilan Gresik telah memenuhi  ketentuan dan peraturan yang berlaku sebagaimana telah diuraikan dalam alasan di bawah.

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

9.            Dalam mengajukan Permohonan Praperadilan terkait tindak pidana di bidang perpajakan ini, maka Dasar Hukum Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan yang digunakan adalah sebagai berikut:

 

a.            Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut “UU-KUP”); 

b.            Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut “PP-74”);

c.             Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 239/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (selanjutnya disebut “PMK-239”);

 

10.          Bahwa Sesuai dengan Pasal 1 angka 26 UU-KUP yang menyatakan “Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat  menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 27 UU-KUP yang menyatakan “Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan”.

 

11.          Bahwa Sesuai dengan Pasal 1 angka 31 UU-KUP yang menyatakan “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan  oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat  terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.

 

12.          Bahwa Sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UU-KUP yang menyatakan Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan  mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan  penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran  perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak  yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus  lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

 

13.          Bahwa Pemohon ditetapkan Tersangka atas dugaan tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam  Pasal 39 ayat 1 Jo. Pasal 39A UU-KUP yang menyatakan :

Pasal 39 ayat (1)

“Setiap orang yang dengan sengaja :

a.            tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b.            menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau  Pengukuhan pengusaha Kena Pajak;

c.             tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

d.            menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar  atau tidak lengkap;

e.            menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

f.             memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen  lain yang palsu atau  dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

g.            tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak  memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

h.            tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang  dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di  Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11);atau

i.              tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara  paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling  sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling  banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

Pasal 39A UU-KUP yang menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja :

a.            menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti  pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya ; atau

b.            menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta  denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti  pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.”

 

14.          Bahwa terkait dengan adanya dugaan tindak pidana perpajakan tersebut, maka berdasarkan Pasal 43A UU-KUP ayat (1) yang menyatakan “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di  bidang perpajakan”.

 

15.          Bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 48 UU-KUP menyatakan “Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Untuk itu, ketentuan Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP-74 pasal 7 ayat (1) yang menyatakan :

 

“Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu :

a.            tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b.            menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau  melampirkan keterangan yang isinya tidak benar;

sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat  Polisi Negara Republik Indonesia.”

 

16.          Bahwa berdasarkan Penjelasan PP-74 pasal 7 ayat (1) tersebut menyatakan :

“Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki  kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan  mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.  Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu :

a.            tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b.            menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak  lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja.”

Berkaitan dengan penjelasan Pasal 7 ayat (1) PP-74 tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak akan melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib  Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib  Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki  kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak  tidak akan dilakukan Penyidikan.

 

17.          Bahwa berdasarkan Penjelasan PP-74 pasal 7 ayat (3) yang menyatakan :

“Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.”

 

18.          Selanjutnya berdasarkan Penjelasan PP-74 pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) yang menyatakan :

Ayat 4 :

Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti  Permulaan.

 

Ayat 5 :

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak  diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

19.          Bahwa PMK-239 Pasal 23 ayat (1)  menyatakan :

 

“Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya atas tindak pidana :

a.            tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara; atau

b.            menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau  melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada  pendapatan negara.”

 

20.          Bahwa Sesuai Dengan PMK-239 pasal 23 ayat (3)  yang menyatakan “Termasuk Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dapat dilakukan pengungkapan ketidakbenaran  perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang  berkaitan dan berbarengan dengan tindak pidana tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau  menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan  keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”.

 

21.          Bahwa Sesuai Dengan PMK-239 pasal 23 ayat (4) yang menyatakan Orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dapat menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan atas tindak pidana  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sepanjang surat pemberitahuan dimulainya  Penyidikan belum disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara  Republik Indonesia.

 

22.          Bahwa Sesuai Dengan PMK-239 pasal 24 ayat (1) yang menyatakan  Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan pengujian atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk memastikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran  perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

 

23.          Bahwa Sesuai Dengan PMK-239 pasal 24 ayat (2) yang menyatakan Yang dimaksud sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu  jumlah pembayaran atas pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya  dikembalikan menurut pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sama dengan atau lebih besar daripada  jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan  menurut Pemeriksaan Bukti Permulaan.

 

24.          Bahwa Sesuai Dengan PMK-239 pasal 24 ayat (3) yang menyatakan Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi  atau badan selaku Wajib Pajak bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan  Penyidikan.

 

25.          Bahwa Sesuai Dengan PMK-239 pasal 24 ayat (4) yang menyatakan alam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak tidak  sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan mengirimkan pemberitahuan kepada orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak bahwa pengungkapan  ketidakbenaran perbuatan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan  di bidang perpajakan.

 

26.          Bahwa Sesuai Dengan PMK-239 pasal 25 yang menyatakan

Ayat (1)

Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 23 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tidak  menghilangkan seluruh kerugian pada pendapatan negara.

Ayat (2)               

Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai  kerugian pada pendapatan negara sepanjang pembayaran dilakukan sebelum surat pemberitahuan  dimulainya Penyidikan disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara  Republik Indonesia.

Ayat (3)               

Pembayaran yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diminta  kembali oleh Wajib Pajak.

Ayat (4)               

Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu sebesar dua per lima bagian dari jumlah pembayaran dalam  rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya.

Ayat (5)               

Contoh cara menghitung jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

27.          Bahwa Sesuai dengan Lampiran di PMK-239 yang menyatakan “Untuk mempermudah penghitungan jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan, berikut adalah contoh cara menghitungnya dalam beberapa kasus:

Contoh 1

Selama Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap Wajib Pajak PT XYZ didapatkan nilai kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp25.000.000.000,00.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP, jumlah yang masih harus dibayar sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut:

 

a.            Pajak yang kurang dibayar                                           Rp 25.000.000.000,00

b.            Sanksi administrasi berupa denda (150%)             Rp 37.500.000.000,00

Jumlah yang masih harus di bayar                                             Rp 62.500.000.000,00

 

28.          Bahwa Termohon merupakan Direktur dari PT Behaestex berdasarkan Akta Nomor 94, tanggal 18 Mei 2018, tentang Pernyataan Keputusan Rapat, yang dibuat dihadapan Notaris Irianto Tanawidjaja, S.H., dan telah diberitahkan perubahannya kepada Dirjen Administrasi Hukum Umum pada Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, sebagaima tercatat dalam Surat Nomor: AHU-AH.01.03-0211576, (Bukti P-1)

 

29.          Bahwa Termohon melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap Pemohon selaku Direktur dari PT Behaestex sesuai dengan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan Nomor PEMB.BP-194/PJ.05/2017 tanggal 17 Oktober 2017 untuk Tahun Pajak 2016, terkait dengan dugaan tindak pidana Perpajakan Faktur Pajak (Bukti P-2)

 

30.          Bahwa terkait Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut Pemohon telah menggunakan Haknya untuk melakukan Pengungkapan Ketidakbenaran perbuatan Sesuai dengan Pasal 8 Ayat (3) UU-KUP, Pasal 7 Ayat (1) PP-74, dan Pasal  23 ayat (4) PMK-239 ;

 

31.          Bahwa terkait Pembayaran untuk memenuhi Pengungkapan Ketidakbenaran yang dilakukan oleh Pemohon dilakukan secara bertahap dan Laporan Pengungkapan ketidakbenaran yang dilakukan oleh Pemohon adalah terjadi pada Tanggal 2 November 2018  dengan pembayaran yang dilakukan oleh Pemohon sejumlah Rp  79.799.123.000 ; (Bukti P-3)

 

32.          Bahwa Pengungkapan Ketidakbenaran yang telah dilakukan oleh Pemohon tidak pernah mendapatkan jawaban konfirmasi dari Termohon terutama terkait dengan apakah telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya berdasarkan pada data dari Termohon ;

 

33.          Bahwa tiba-tiba Termohon melakukan proses selanjutnya terkait dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan Proses Penyidikan dan Menetapkan Status Tersangka Terhadap Pemohon tanpa memberikan pemberitahuan atau tanggapan terkait Pengungkapan ketidakbenaran yang telah dilakukan oleh Pemohon. Jelas hal ini merupakan tindakan penyidik yang berseberangan dengan hakikat dari sanksi pidana perpajakan yang pada dasarnya sanksi pidana perpajakan merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak (manifestasi ini juga diatur dalam Pasal 44B ayat (2) UU KUP yang pada intinya penyidikan dapat dihentikan manakala wajib pajak melunasi utang pajaknya).

 

Dalam hal ini Pemohon justru berupaya untuk mematuhi kewajibannya sebagai wajib pajak dalam membayar utang pajaknya. Seharusnya penyidik secara yuridis tidak tergesa-gesa menetapkan tersangka atas Pemohon. Penetapan tersangka atas Pemohon merupakan hal yang melanggar asas dan norma perpajakan sehingga secara hukum mohon untuk dibatalkan.

 

34.          Bahwa Penetapan Tersangka tersebut dengan diketahui dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang menyatakan Termohon sebagai tersangka dengan tanggal SPDP 2 November 2018 yang disampaikan oleh Termohon Kepada Pemohon pada tanggal 8 November 2018 (Bukti P-4)

 

35.          Bahwa Nyata-nyata Tindakan Termohon dengan menetapkan tersangka kepada Pemohon adalah secara sewenang-wenang, dikarenakan Pemohon Seharusnya masih dapat menggunakan hak nya terkait dengan Pengungkapan Ketidakbenaran jika terdapat konfirmasi kekurangan pembayaran pajak  adalah merupakan perbuatan yang melawan Hukum karena tidak sesuai dengan PP-74 pasal 7 ayat (4) , PMK-239 pasal 24 ayat (3) PMK-239 pasal 24 ayat (4) ;

 

36.          Bahwa dalam hukum pajak diterapkan adanya Asas “ULTIMUM REMEDIUM “, perbuatan Termohon dengan sewenang-wenang menetapkan tersangka dan tidak memberitahukan status permohonan Pengungkapan ketidakbenaran yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah menghilangkan HAK-HAK yang seharusnya masih bisa dipergunakan oleh Pemohon ;

 

37.          Bahwa Jumlah Pembayaran yang dilakukan oleh Pemohon sebesar Rp 79.799.123.000 adalah telah sesuai dengan Keadaan yang sebenarnya pada saat proses Pemeriksaan Bukti Permulaan karena, sehingga pengungkapan yang telah dilakukan oleh Pemohon telah memenuhi  PMK-239 pasal 24 ayat (2)

 

38.          Bahwa Bukti Lebih lanjut bahwa Pengungkapan Ketidakbenaran yang telah dilakukan oleh Pemohon telah sesuai dengan prosedur yaitu dengan diperhitungkannya jumlah Pembayaran pajak oleh Termohon sesuai dengan Surat nomor SR- 810/PJ.05/2019 tanggal 23 Desember 2019 (Bukti P-5)

 

39.          Bahwa Informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) yang dipergunakan oleh Pemohon adalah tidak sah dikarenakan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, oleh karenanya penetapan tersangka atas Pemohon harus dibatalkan.

 

40.          Bahwa Proses Penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon adalah cacat secara Hukum dan perbuatan yang dilakukan oleh Pemohon dalam pengungkapan ketidakbenaran adalah telah sesuai dengan keadaan sebenarnya pada saat proses pemeriksaan bukti permulaan, sehingga perbuatan pemohon bukan merupakan  Tindak Pidana dalam perpajakan.

 

III. PETITUM

Berdasar pada argumen dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini, dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan, dengan amar putusan sebagai berikut :

1.            Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;

2.            Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana Perpajakan  dimaksud dalam Pasal 39A huruf a Jo Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 39 Ayat 1 Huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 oleh Direktorat Jenderal Pajak Direktorat Penegakan Hukum adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3.            Menyatakan Perbuatan Pemohon adalah bukan merupakan tindak Pidana perpajakan;

4.            Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;

5.            Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon dengan menerbitkan bahwa Surat Pengungkapan Ketidakbenaran yang telah dilakukan oleh Pemohon telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

6.            Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

7.            Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Atau:

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya