Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GRESIK
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
5/Pid.Pra/2023/PN Gsk 1.MUHAMMAD BASORI
2.MOH. ALFIS SYAHRI
KEPOLISIAN RESOR GRESIK SATUAN RESERSE KRIMINAL Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 13 Des. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 5/Pid.Pra/2023/PN Gsk
Tanggal Surat Rabu, 13 Des. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1MUHAMMAD BASORI
2MOH. ALFIS SYAHRI
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN RESOR GRESIK SATUAN RESERSE KRIMINAL
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) jo 76C Undang- undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh Kepolisian Resor Gresik Direktorat Reserse Kriminal.

 

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

 

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

  1. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

 

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

 

 

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

 

  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

 

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

 

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

  1. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

 

  1. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

 

  1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
  2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
  3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
  4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
  5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
  6. Dan lain sebagainya

 

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

 

Mengadili, Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

 

  1. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU- XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

  1. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

  1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

 

  1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
  3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang- kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
  4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
  5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon I dan Pemohon II tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon I dan Pemohon II sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Perintah Penangkapan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui Surat Perintah Penangkapan oleh Termohon kepada Pemohon I dan Pemohon II dengan Nomor SP.Kap/231/XI/2023/Reskrim tertanggal 6 November 2023 tidak pernah membuktikan Pemohon I dan Pemohon II diperiksa sebagai calon

 

 

tersangka, akan tetapi Pemohon I dan Pemohon II langsung ditangkap sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon I dan Pemohon II dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon I dan Pemohon II. Pemohon I dan Pemohon II hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditangkap sebagai Tersangka yakni pada tanggal 6 November 2023.

  1. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU- XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res  Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Reskrim Resor Gresik.

7.      Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon I dan Pemohon II oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

 

  1. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

 

  1. Bahwa sebagaimana diakui Pemohon I dan Pemohon II, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon I dan Pemohon II baru diketahui oleh Pemohon I dan Pemohon II berdasarkan Surat Perintah Penahanan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon I dan Pemohon II dengan Nomor SP.Kap/231/XI/2023/Reskrim tertanggal 6 November 2023. Bahwa apabila mengacu kepada surat perintah penangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon I dan Pemohon II. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
  2. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan

 

 

surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

  1. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
  2. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

5.      Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri Pemohon I dan Pemohon II, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

 

  1. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

 

  1. Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) jo 76C Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh Kepolisian Resor Gresik Direktorat Reserse Kriminal terhadap Pemohon I dan Pemohon II hanya berdasar pada Surat Laporan Polisi yang dilaporkan oleh Sdr. AMIN SUHARTONO kepada Termohon dengan Nomor LP/A/23/XI/2023/SPKT/RESKRIM/POLRES GRESIK/POLDA JAWA TIMUR tertanggal 6 November 2023.
  2. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU- XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh

 

 

Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

  1. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon I dan Pemohon II ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) jo 76C Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh Kepolisian Resor Gresik Direktorat Reserse Kriminal kepada Pemohon I dan Pemohon II, mengingat Pemohon I dan Pemohon II tidak dianggil secara patut untuk diminta keterangannya terhadap perkara aquo dan tidak adanya pemeriksaan calon tersangka oleh Termohon.

4.      Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Termohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 

  1. PERBUATAN PEMOHON MURNI TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN

 

  1. Bahwa kecelakaan yang menimpa salah satu murid SH Terate bernama Reezza Noor Hardiansyah pada saat latihan sambung pada hari minggu tanggal 5 November di halaman Pondok Pesantren Al-Ikhlas Rayon Mulyorejo Desa Delegan yang menyebabkan Sdr. Reezza Noor Hardiansyah meninggal dunia adalah murni kecelakaan saat pelatihan dan merupakan kealpaan dari Pemohon. Dan oleh karena itu Pemohon I dan Pemohon II sudah menyelesaikannya secara kekeluargaan dengan orangtua korban, dan juga sudah dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan Tidak Menuntut Secara Hukum tanggal 6 November 2023, dan atas Surat Pernyataan tersebut Pihak keluarga menyatakan tidak akan menuntut secara hukum dan pihak keluarga menganggap kejadian tersebut merupakan suatu musibah dan iklas menerimanya dan akan menyelesaikannya secara kekeluargaan.
  2. Bahwa menurut pendapat para ahli kealpaan ini disamakan dengan kelalaian dan kekurang hati-hatian. Menurut Wirjono Culpa didefinisikan sebagai kesalahan pada umumnya, namun dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, nyaitu semacam kesalahan pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan yang disebabkan dari kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.

 

 

3.      Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon I dan Pemohon II dapat kenakan Pasal 80 ayat (3) jo 76C Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.

 

 

 

  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

 

  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
  2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih

diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang- undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan- aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

  1. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan

 

 

berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’

  1. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang    meliputi    melampaui    wewenang,     mencampuradukkan     wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang- undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
  2. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

 

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

 

  • dibuat sesuai prosedur; dan

 

  • substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

 

Bahwa sebagaiman telah Pemohon I dan Pemohon II uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon I dan Pemohon II dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

 

  1. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon I dan Pemohon II dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

 

 

  • “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

 

  1. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

  1. PETITUM

 

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon I dan Pemohon II mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

 

  1. Menyatakan diterima Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan menyuruh melakukan atau turut serta melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) jo 76C Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh Kepolisian Resor Gresik Direktorat Reserse Kriminal adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh

Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon I  dan Pemohon II oleh Termohon;

  1. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon I dan Pemohon II;
  2. Memulihkan hak Pemohon I dan Pemohon II dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  3. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

 

Pemohon I dan Pemohon II sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

 

  1. Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pihak Dipublikasikan Ya